Minggu, 09 Agustus 2009

DELAPAN (8) CIRI PEMIMPIN DOU MBOJO/DOMPU KE DEPAN (NGGUSU WARU)

Nggusu Waru adalah delapan sifat/karakteristik yang menyatu sedemikian kuatnya dalam diri seseorang yang menjadi pemimpin (dumudou, ama dou, amarasa) (bahasa lokal). Kedelapan sifat/karakteristik itu sekaligus dapat dijadikan kriteria alternatif bagi seseorang yang akan dipilih/diangkat menjadi pemimpin, yaitu sebagai berikut :


(Sa’orikaina) “dou maja labo dahu dinadai Ruma Allahu Ta’ala”. Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada allah SWT. Takwa dalam artian hati-hati dan selektif dalam hidupnya. Ia tidak mau bersikap sembarangan. Karena ia yakin bahwa meskipun mata kepalanya tidak dapat melihat allah, tapi mata hatinya yakin bahwa allah SWT pasti memperhatikan dia, sebagaimana dirumuskan dalam pengertian ihsan, yaitu: “hendaklah engkau menyembah allah, seakan-akan kau meliha-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa allah pasti melihat engkau”. Jadi, kriteria yang satu ini mendasari sekaligus menjiwai ketujuh sifat yang lainnya. Sifat ma sabua ake, nakapisiku sifat ma pidumbua ma kalai ede.


(Dua orikaina) “ dou ma bae ade”. Artinya, orang yang memiliki kapasitas intelektual serta kepekaan jiwa (spiritual) yang mendalam sehingga dengan mudah menanggapi berbagai permasalahan yang terjadi, secara rasional dan intuitif serta tidak mudah bersikap emosional dalam arti negatif. Karena itu, ia selalu mampu mengontrol dirinya sedemikian rupa sehingga tidak mampu terbawa oleh pemikiran yang bersifat polaritas: prokontra, kiri-kanan, hitam-putih, dan sejenisnya (unca-anca, ngu’e-nga’e). Tapi ia mampu mengajukan pikiran yang partisipatif, akomodatif, dan adaptif. Jadi ia mampu memodernisasi, menjembatani, mencari titik temu, dari dua/lebih hal yang ekstrim sedemikian rupa sehingga ia mampu berada “ditengah-tengah”, menjadi wasit, adil dan santun. Dia tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan, ia anti kekerasan sesuai dengan makna instrinsik dari kata DOMPU atau DOMPO. Bukan secara kebetulan kalau Kabupaten DOMPU itu secara geografis berada “persis” ditengah-tengah pulau Sumbawa, sehingga sangat relevan dengan kata DOMPU/DOMPO.


(Tolu orikaina) “dou ma mbani labo disa”. Bukan orang yang “kebe” (orang yang kebal) karena memiliki ilmu-ilmu tertentu yang bersifat mistik. Dou mbani labo disa Artinya orang yang memiliki sifat berani melakukan perubahan (reformasi) kearah yang lebih positif-konstruktif karena diyakini kebenarannya. Karena itu, ia berani mempertanggungjawabkan perbuatanya kini disini, di dunia, dihadapan UUD 45 dan pancasila serta dihadapan Allah SWT, yaitu dihari perhitungan yang amat cermat lagi teliti, di yaumul hisab, nantinya. Dalam al-quran telah dijelaskan yang artinya “Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya kelak aku akan menemui hisab oleh dan terhadap diriku sendiri(QS. Al Haqqah, 69:20). Karena itu tidak ada seorangpun yang mampu “bersandiwara” seperti yang pernah ia lakukan semasa hidupnya di dunia. Perhatikan pula QS. Yasin, 36:65, yang artinya “Pada hari itu kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberikan kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Jadi, mbani labo disa berarti, berani dan dapat/sanggup berbuat sesuatu, sesuai dengan aturan main yang ada/berlaku, yang tentu saja ia yakin akan kebaikan dan kebenaran.


(Upa orikaina), “dou ma lembo ade ro ma na’e sabar”. Artinya orang yang lapang dada (berjiwa demokratis dan akomodatif) yang mampu menjembatani hal-hal yang dapat menimbulkan polaritas (pro-kontra). Dengan berkat kesabarannya ia tidak mudah memihak kepada hal-hal yang nampaknya secara lahiriah, menguntungkan, padahal justru membahayakan. Dengan demikian ia, mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Karena ia memiliki tekad/semangat yang membaja dalam meraih tujuan yang lebih luhur, lebih membahagiakan. Ia mantapkan tekad/semangat dengan mengatakan” kalembo ade, kana’e saba, kapaja syara’, sia sawa’u, su’u sawale. Insya Allah, Allah SWT akan menolong siapa saja, selama orang tersebut memiliki sikap seperti itu. Perhatikan QS. Al-Baqarah, 2: 45 dan 153 yang artinya “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. Sabar itu selalu pahit pada awalnya, tetapi manis pada akhirnya. “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan”(QS. Ali Imran, 3:186).


(Lima orikaina), “dou ma ndinga nggahi rawi pahu”. Artinya, orang yang jujur. Orang yang satu kata dengan perbuatannya (tidak hipokrit), karena apa yang telah dikatakan atau yang telah disepakati bersama misalnya, itu pulalah yang akan dilaksanakanbersama secara arif, sehingga menghasilkan suatu yang sangat positif dan konstruktif, ntau pahu. Hal itu dimungkinkan karena ia memiliki kemampuan terutama dalam hal penggunaan kata/kalimat yang secara psikologis dan secara moral dapat mengantarkan dirinya dan orang lain kepada satunya kata dan perbuatan.
Ungkapan tersebut sesungguhnya merupakan manifestasi dari orang yang kuat imannya (cia imbina) kepada adanya Allah SWT sebagai pencipta alam semesta sekaligus sebagai pelindung dan pemeliharanya. Keimanan seperti itu, harus diyakini dengan hati (kapodaku ba ade), diucapkan dengan lisan (rentaku ba rera/lera) dan diamalkan dengan anggota badan (karawiku ba weki/sarumbu). Ketiga-tiganya harus berjalan secara simultan dan seimbang. Bukan sebaliknya, nggahi wari pahu (hipokrit). Bukan seperti itu. Karena ia yakin bahwa allah SWT sangat marah (benci) kepada orang-orang dengan tipe seperti itu. QS. As-Saf, 61: 1-2, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan (sesuatu) apa yang kamu tidak perbuat. Amat besar kebencian di hadirat Allah SWT (apabila) kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.


(Ini orikaina), “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma taho”. Artinya, orang yang memiliki integritas kepribadian yang kokoh-kuat dan berwibawa. Dedikasinya tinggi serta loyal akan perjuangan, menegakkan keadilan dan kebenaran. Jadi, taho hid’i disini, bukan pada penampakan fisik kejasmaniannya yang tampan, cantik, dan/atau gagah saja. Bukan itu, itu belum cukup. Tetapi yang sangat penting pada aspek integritas kepribadian yang sidik (jujur), tidak bohong, amanah (dapat dipercaya), tidak khianat, tabaliq (transparan dan komunikatif) tidak sembunyi-sembunyi, serta fatonah (cerdas dan kreatif), tidak bohong/dungu, sedemikian rupa, sehingga menampakkan pribadi manusia seutuhnya: proporsional dan harmonis. Harmonis antara fisik-kejasmanian dan psikhis-kerohanian, secara sempurna. Atau meminjam istilah dalam tasawuf, ia menjadi “insan kamil”, yaitu manusia yang selalu dalam “proses menjadi” sempurna.
Jadi “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma taho”. Artinya orang yang seimbang antara struktur tubuhnya yang gagah (pria) atau cantik (wanita) dan berakhlak baik/akhlakul karimah.


(Pidu orikaina), “dou ma d’i woha dou”. Artinya, orang yang selalu merasa terpanggil untuk mengambil tanggung jawab, ditengah-tengah komunitasnya, baik ditingkat lokal, memiliki akses tingkat nasional, dan syukur-syukur di tingkat Internasional. Dan karenanya, ia selalu dekat di hati rakyat, ia selalu dicintai rakyatnya. Dengan demikian, ia selalu unggul dalam setiap kegiatan yang bersifat kompetitif dan yang melibatkan orang banyak (publik). Betapa tidak, karena ia selalu hadir di tengah-tengah publik, baik dikala suka maupun dikala duka, dengan tidak membeda-bedakan status sosial; kaya-miskin, orang kota-orang gunung, bangsawan-budak (ada dou). Ia berkeyakinan bahwa kesusahan, penderitaan orang lain, adalah peluang baginya untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan cara memudahkan urusan sedemikian rupa, sehingga orang itu merasa berbahagia berada di sampingnya.


(Waru orikaina), “dou ma ntau ro wara”. Artinya, orang yang memiliki kekayaan (maksudnya, bukan hanya memiliki kekayaan bersifat materi-kebendaan saja, tetapi yang penting, kaya rokhani), sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat materi. Betapapun ia menghajatkannya. Atau menurut ungkapan yang populer di era roformasi dewasa ini, ia tidak mau melakukan KKN alias Kuku Keko Ndimba (istilah lokal). Betapapun ia menghajatkan materi-uang, karena sangat bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan sifat-sifat yang terpuji seperti yang tersebutkan di atas. Jadi, dia sudah merasa kaya secara rokhaniah maupun secara moral. Dengan demikian, ia mampu menilai bahwa sebuah benda yang berharga itu, tidak ubahnya ibarat sebutir batu/kerikil yang berserakan disepanjang jalan. Ia sama sekali tidak terusik untuk memilikinya melebihi porsi yang diperlukannya. Lagipula, sesuai dengan haknya tidak lebih dari itu.

Tulisan ini disadur oleh Bahtiar Malingi (Dosen IAIN Mataram NTB - Mahasiswa S2 UNY Yogyakarta)dari sebuah buku karangan sesepuh yang nama panggilannya guru melo (Abdul Malik Mahmud Hasan) dengan judul “Ngusu Waru” Sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya Lokal Mbojo (Dompu-Bima).
Selengkapnya...

Jumat, 07 Agustus 2009

Sultan Muhammad Sirajuddin (Manuru Kupang), memimpin dengan semangat NGGUSU WARU


Manuru Kupa adalah Sultan Dompu, Muhammad Sirajuddin, yang dibuang Belanda ke Kupang. Sikap dan perilakunya tidak hanya tertanam di lingkungan masyarakat Dompu, melainkan juga di lingkungan masyarakat Kupang. Setelah wafat di Kupang 14 Februari 1937, jenazah Manuru Kupa dimakamkan kembali di Dompu tahun 2002. Kendati makamnya telah berpindah, perlawanan Manuru Kupa terhadap penjajah dan sikap hidup yang tertanam dalam benak masyarakat Kupang, adalah cermin bahwa nilai-nilai budaya yang ditanamkan tak pernah mati.



Hal itu tidak lepas pula dari sikap Manuru Kupa dalam mengaplikasikan norma kepemimpinan yang dikenal dengan Ngadu Waru. Ada delapan syarat kepemimpinan tersebut yang dikenal di lingkungan masyarakat Dompu, yakni Ma To'a di Ruma Labo Rasu (taat kepada Allah dan Rasul), Ma Loa Ra Bade (bijaksana), Mantiri Nggahi Ro Kalampa (jujur), Maponda nggahi Ro Paresa (benar), Mambani Ra Disa (berani), Matenggo Ra Wale (mampu), Madisa Ra Sune (berwibawa) dan Londo Dou Taho (dari keturunan yang baik).



Situasi di masa lampau setidaknya telah menjalin persamaan rasa senasib sepenanggungan antara raja/sultan, termasuk dalam diri Manuru Kupa. Hal yang cukup mengagumkan, suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya mencapai 604 kemudian bisa bersatu. Bahkan, di saat bangsa Indonesia mengalami keadaan darurat berupa pemindahan ibu kota negara ke Yogyakarta, integrasi itu masih cukup kuat -- dengan jalinan sebuah sikap antara Poros Bukuttinggi dan poros Jawa.



Kasubdit Pemahaman sejarah Direktorat Nilai Sejarah Depbudpar RI Amurwani Dwi Lestari, S.Sos., M.Hum. mengatakan, sejarah nasional memiliki nilai-nilai yang mampu mengeratkan integrasi. Dan, setiap sejarah lokal maupun nasional penting untuk dicatat, karena memiliki kaitan erat yang saling mengikat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konteks sejarah lokal yang berkaitan dengan revolusi sejarah nasional adalah yang berkenaan dengan perjuangan di tiap daerah -- sebutlah dalam rangka kemerdekaan.



Dicontohkan era perjuangan pada masa kolonial -- di mana beberapa tokoh daerah seperti Cut Nya Dien -- diasingkan. Itu artinya dalam sejarah lokal ada keterkaitan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selain sejarah lokal yang berkaitan dengan sejarah nasional, terdapat pula sejarah lokal yang berdiri sendiri dan berkenaan dengan upaya menunjukkan jati diri. "Melalui pemahaman masa lampau yang benar, mereka dapat merencanakan masa depannya secara lebih baik," ujarnya.



Bagaimana ketika muncul gejolak etnis di berbagai daerah dan munculnya ancaman disintegrasi? Akankah simpul-simpul integrasi itu hilang di saat politik terlena mengurus berbagai isyarat kekinian?



Simpul Integrasi

Simpul-simpul integrasi telah ada beberapa abad lampau. Lawatan sejarah yang mengagendakan kunjungan ke Taman Mayura, Taman Narmada dan Maqam Selaparang, memberi isyarat adanya kontak-kontak dengan berbagai suku bangsa di Lombok. Sentuhan terjadi lewat perdagangan ketika etnis Cina, Arab, Bali dan Sasak terjadi sejak berabad-abad lalu. Itu nampak dari patung Haji dan patung orang Tionghoa di Bale Kambang Taman Mayura.



Adaptasi antaretnis pun masih nampak hingga sekarang. Gedung Mendapa yang berada di Dusun Pelabu, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, merupakan simbol fisik solidaritas komunitas Sasak Muslim dengan komunitas Bali-Sasak Hindu. Pada areal seluas 800 meter persegi itu terdapat empat bangunan, yakni ruang Mendapa yang berisi tempat peletakan abu jenazah raja dan tempat peletakan air suci. Ada pula bangunan tempat diletakkannya barang bawaan Umat Islam dan tempat Umat Islam menikmati hidangan serta bangunan tempat pemotongan dan pengolahan makanan yang akan disantap para undangan pada saat upacara itu dilangsungkan.



Gedung itu dijaga secara turun-temurun oleh komunitas muslim meskipun penggunaannya secara maksimal sebagai tempat persembahan komunitas Hindu. Upacara memberi penghormatan pada leluhur dilangsungkan setahun sekali setelah panen padi. Proses pembagian hidangan untuk muslim dilakukan komunitas muslim, sementara untuk Hindu dilakukan umat Hindu. Sedangkan pengolahan makanan sepenuhnya dilakukan komunitas muslim, baik menyembelih maupun meriap/memotong. Itu artinya, Gedung Mendapa yang terletak di Dusun Pelabu merupakan saksi fisik yang menggambarakan solidaritas sosial/keagamaan komunitas Sasak Muslim dan Sasak Hindu di Lombok (Suara NTB, 21 Juni 2006).



Berdirinya bangunan itu merupakan hasil kompromi tatkala terjadi selisih paham tentang tata cara memberi penghormatan atas arwah Sang Putra Mahkota Klungkung -- yang meninggal dunia dan telah masuk Islam karena mengawini putri Raja Kuripan. Karena mereka bersaudara sebagai keturunan Klungkung, dalam wangsit itu mereka diminta membangun tempat yang memungkinkan untuk menyelenggarakan kegiatan penghormatan pada leluhur secara bersama-sama sesuai keyakinan masing-masing. Komitmen membangun kebersamaan dalam tatanan hidup yang pluralis dimungkinkan jika rasa akan adanya kesamaan rumpun dan kesamaan sejarah.



Menurut Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NTT Drs. I Made Purna, M.Si., bangsa Indonesia sudah dibangun oleh embrio sependeritaan yang diakibatkan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda selama 350 tahun. Namun, diakui, masih terjadi tarik-menarik antara kesadaran nasionalitas dan kesadaran etnisitas yang sewaktu-waktu bisa berkembang dilematis menjadi kekurangpuasan, kurang informasi dan ego fanatisme budaya dan sejarah.



Karena itu, diperlukan penataan lewat pemahaman konsep sejarah lokal, sejarah nasional dan etnisitas. "Kita sadari lahirnya integrasi nasional dan nasionalisme di masa yang telah lewat diambil dari "nasion" suatu kolektivitas politik. Karena itu, tidak bisa disalahkan bahwa jiwa/roh nasionalisme di Indonesia mengandung gagasan mengembangkan rasa kebersamaan di antara kelompok masyarakat yang ada di Indonesia," ujarnya. Permasalahan selama ini adalah munculnya paradigma baru yang ditekankan pada nasionalisme kultural dan nasionalisme politik.



Menurutnya, keberadaan negara-bangsa tidak perlu dipermasalahkan sepanjang suku bangsa itu memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya budaya partikulir dari suku bangsa pendukungnya. Di pihak lain, pemerintah pusat (Jakarta) harus memperhatikan setiap suku bangsa -- bahwa mereka mempunyai hak, kewajiban dan andil yang sejajar; berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. "Tentu dalam slogan seperti itu tidak akan ada budaya yang cenderung diberi nilai rendah, tertutup," cetusnya. Karena, di Indonesia tidak ada budaya yang paling tinggi, paling beradab, apalagi yang betul-betul asli. Pengakuan sejarah memberi gambaran bahwa dari segi agama yang dianut -- semuanya datang dari luar. Demikian halnya penjajah di Indonesia tidak sedikit mempengaruhi dan memperkaya budaya bangsa Indonesia, termasuk di antaranya pembangunan dan globalisasi.



Untuk mempertahankan nilai-nilai, perlu dipahami karakter sosial bangsa yang didasari oleh keragaman etnik dan budaya dalam membangun kehidupan ber-Bhinneka Tunggal Ika dengan pedoman Pancasila dan UUD 45. Hal ini terbukti, dari peserta yang mengikuti lawatan sejarah terdiri dari berbagai etnik, agama, yang datang dari tiga propinsi. "Mereka setelah mengikuti lawatan sejarah tidak saja mampu menghafal dan memahami peristiwa sejarah dan etnik yang dikunjungi, akan tetapi lebih dipentingkan adalah mengutamakan proses pematangan pikiran dengan mencintai saudara-saudara setanah air dengan ajaran cinta kasih, perdamaian, persatuan dan kesatuan," papar Purna.



Itu artinya, simpul-simpul integrasi tetap dijalin dalam kerangka mengenali daerah masing-masing. Sebab, tidak berguna suku bangsa tanpa suku bangsa lain. Dan, setiap suku bangsa adalah simpul integrasi karena ia menjadi objek pengenalan yang memikat lewat berbagai macam nilai budaya yang berbeda namun menunjukkan sebuah kekayaan yang harus dihargai bersama. (rab)

Selengkapnya...

Profile Dompu


Kabupaten Dompu merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Kabupaten / Kota yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan luas wilayah 2.324,55 Km2. Letak Geografis Kabupaten Dompu terletak antara 1170 42 1180 30 Bujur Timur dan 80 06 90 05 Lintang Selatan.Wilayahnya berbatasan dengan Laut Flores dan Kabupaten Bima di sebelah utara, Lautan Indonesia di sebelah selatan, Kabupaten Bima di sebelah timur, dan Kabupaten Sumbawa di sebelah barat

Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan daerah yang sangat besar perananya, karena hampir sebagian besar pendapatan daerah berasal dari sektor ini. Perkembangan sektor pertanian ini diarahkan untuk memantapkan upaya swasembada pangan, menganekaragamkan produksi, mendorong memperluas kesempatan kerja dalam memacu pembangunan daerah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Dompu khususnya yang bergerak di bidang pertanian. Secara umum potensi pertanian yang dikembangkan di Kabupaten Dompu berdasarkan kondisi lahan / tanah yang dimiliki adalah tiga komoditas utama yaitu; Padi, Palawija, dan Hortikultura. omoditi Padi merupakan komoditas utama yang dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Dompu, karena komoditas ini merupakan bahan makanan pokok masyarakatnya. Dari potensial areal seluas 30.742 Ha lahan sawah dan lahan kering, yang sudah dimanfaatkan untuk menanam padi baru 20.402 Ha (66,36) , sedangkan sisanya seluas 10.340 Ha belum dimanfaatkan. Dari hasil budidaya tersebut setiap tahun Kabupaten Dompu mampu menghasilkan gabah kering sebanyak 100.174 ton setiap tahun atau produktivitas perhektar sebesar 4,9 ton perhektar. Dengan hasil produksi sebesar itu Kabupaten Dompu telah swasembada besar, dan malah lebih sehingga kelebihan tersebut dikirim ke daerah lain baik dalam provinsi Nusa Tenggara Barat maupun di Provinsi lainnya. Palawija merupakan salah satu jenis komoditi yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk dikembangkan, namun demikian Kabupaten Dompu belum mampu mengembangkan Komoditi ini secara maksimal. Dari 21.000 Ha lahan yang potensial untuk budidaya palawija yang baru dikembangka hanya 3.303 Ha yang diusahakan secara intensif dan semi intensif. Jenis komoditi palawija yang dikembangkan antara lain seperti; kacang kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau.
Komoditi Hortikultura yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang dikembangkan masyarakat Dompu adalah; bawang merah, bawang putih, pisang, mangga, dan semangka. Usaha budidaya di bidang ini juga belum mampu mengelola secara maksimal potensi lahan yang dimiliki oleh Kabupaten Dompu, karena baru mengelola sebesar 64,4 % dari luas lahan yang tersedia seluas 17.000 Ha.
Sektor Perkebunan merupakan salah satu potensi usaha yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat petani. Di Kabupaten Dompu terdapat areal / kawasan budidaya perkebunan dengan komoditi yang dibudidayakan adalah seperti: Jambu Mente, Kepala, Kopi, dan lain-lain. Disamping komoditi utama tersebut di atas di kabupaten dompu tengah dikembangkan juga komditi-komoditi lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi namun usaha tersebut masih dalam skala kecil. Komoditi-komoditi yang dimaksud adalah seperti: Kakao, cengkeh, Kapuk, pinang, kemiri,dan asam, serta tanaman semusim lainnya. ektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan perekonomian Kabupaten Dompu, karena dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan penghasilan petani khusunya nelayan. Secara umum komoditi utama yang dihasilkan dari sektor perikanan kelautan ini adalah meliputi; perikanan laut dan hasil tangkapan, dan perikanan air payau, serta perikanan air tawar.

Sumber Data:
Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2006/2007
(01-6-2007)


Selengkapnya...