Jumat, 07 Agustus 2009

Sultan Muhammad Sirajuddin (Manuru Kupang), memimpin dengan semangat NGGUSU WARU


Manuru Kupa adalah Sultan Dompu, Muhammad Sirajuddin, yang dibuang Belanda ke Kupang. Sikap dan perilakunya tidak hanya tertanam di lingkungan masyarakat Dompu, melainkan juga di lingkungan masyarakat Kupang. Setelah wafat di Kupang 14 Februari 1937, jenazah Manuru Kupa dimakamkan kembali di Dompu tahun 2002. Kendati makamnya telah berpindah, perlawanan Manuru Kupa terhadap penjajah dan sikap hidup yang tertanam dalam benak masyarakat Kupang, adalah cermin bahwa nilai-nilai budaya yang ditanamkan tak pernah mati.



Hal itu tidak lepas pula dari sikap Manuru Kupa dalam mengaplikasikan norma kepemimpinan yang dikenal dengan Ngadu Waru. Ada delapan syarat kepemimpinan tersebut yang dikenal di lingkungan masyarakat Dompu, yakni Ma To'a di Ruma Labo Rasu (taat kepada Allah dan Rasul), Ma Loa Ra Bade (bijaksana), Mantiri Nggahi Ro Kalampa (jujur), Maponda nggahi Ro Paresa (benar), Mambani Ra Disa (berani), Matenggo Ra Wale (mampu), Madisa Ra Sune (berwibawa) dan Londo Dou Taho (dari keturunan yang baik).



Situasi di masa lampau setidaknya telah menjalin persamaan rasa senasib sepenanggungan antara raja/sultan, termasuk dalam diri Manuru Kupa. Hal yang cukup mengagumkan, suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya mencapai 604 kemudian bisa bersatu. Bahkan, di saat bangsa Indonesia mengalami keadaan darurat berupa pemindahan ibu kota negara ke Yogyakarta, integrasi itu masih cukup kuat -- dengan jalinan sebuah sikap antara Poros Bukuttinggi dan poros Jawa.



Kasubdit Pemahaman sejarah Direktorat Nilai Sejarah Depbudpar RI Amurwani Dwi Lestari, S.Sos., M.Hum. mengatakan, sejarah nasional memiliki nilai-nilai yang mampu mengeratkan integrasi. Dan, setiap sejarah lokal maupun nasional penting untuk dicatat, karena memiliki kaitan erat yang saling mengikat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konteks sejarah lokal yang berkaitan dengan revolusi sejarah nasional adalah yang berkenaan dengan perjuangan di tiap daerah -- sebutlah dalam rangka kemerdekaan.



Dicontohkan era perjuangan pada masa kolonial -- di mana beberapa tokoh daerah seperti Cut Nya Dien -- diasingkan. Itu artinya dalam sejarah lokal ada keterkaitan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selain sejarah lokal yang berkaitan dengan sejarah nasional, terdapat pula sejarah lokal yang berdiri sendiri dan berkenaan dengan upaya menunjukkan jati diri. "Melalui pemahaman masa lampau yang benar, mereka dapat merencanakan masa depannya secara lebih baik," ujarnya.



Bagaimana ketika muncul gejolak etnis di berbagai daerah dan munculnya ancaman disintegrasi? Akankah simpul-simpul integrasi itu hilang di saat politik terlena mengurus berbagai isyarat kekinian?



Simpul Integrasi

Simpul-simpul integrasi telah ada beberapa abad lampau. Lawatan sejarah yang mengagendakan kunjungan ke Taman Mayura, Taman Narmada dan Maqam Selaparang, memberi isyarat adanya kontak-kontak dengan berbagai suku bangsa di Lombok. Sentuhan terjadi lewat perdagangan ketika etnis Cina, Arab, Bali dan Sasak terjadi sejak berabad-abad lalu. Itu nampak dari patung Haji dan patung orang Tionghoa di Bale Kambang Taman Mayura.



Adaptasi antaretnis pun masih nampak hingga sekarang. Gedung Mendapa yang berada di Dusun Pelabu, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, merupakan simbol fisik solidaritas komunitas Sasak Muslim dengan komunitas Bali-Sasak Hindu. Pada areal seluas 800 meter persegi itu terdapat empat bangunan, yakni ruang Mendapa yang berisi tempat peletakan abu jenazah raja dan tempat peletakan air suci. Ada pula bangunan tempat diletakkannya barang bawaan Umat Islam dan tempat Umat Islam menikmati hidangan serta bangunan tempat pemotongan dan pengolahan makanan yang akan disantap para undangan pada saat upacara itu dilangsungkan.



Gedung itu dijaga secara turun-temurun oleh komunitas muslim meskipun penggunaannya secara maksimal sebagai tempat persembahan komunitas Hindu. Upacara memberi penghormatan pada leluhur dilangsungkan setahun sekali setelah panen padi. Proses pembagian hidangan untuk muslim dilakukan komunitas muslim, sementara untuk Hindu dilakukan umat Hindu. Sedangkan pengolahan makanan sepenuhnya dilakukan komunitas muslim, baik menyembelih maupun meriap/memotong. Itu artinya, Gedung Mendapa yang terletak di Dusun Pelabu merupakan saksi fisik yang menggambarakan solidaritas sosial/keagamaan komunitas Sasak Muslim dan Sasak Hindu di Lombok (Suara NTB, 21 Juni 2006).



Berdirinya bangunan itu merupakan hasil kompromi tatkala terjadi selisih paham tentang tata cara memberi penghormatan atas arwah Sang Putra Mahkota Klungkung -- yang meninggal dunia dan telah masuk Islam karena mengawini putri Raja Kuripan. Karena mereka bersaudara sebagai keturunan Klungkung, dalam wangsit itu mereka diminta membangun tempat yang memungkinkan untuk menyelenggarakan kegiatan penghormatan pada leluhur secara bersama-sama sesuai keyakinan masing-masing. Komitmen membangun kebersamaan dalam tatanan hidup yang pluralis dimungkinkan jika rasa akan adanya kesamaan rumpun dan kesamaan sejarah.



Menurut Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NTT Drs. I Made Purna, M.Si., bangsa Indonesia sudah dibangun oleh embrio sependeritaan yang diakibatkan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda selama 350 tahun. Namun, diakui, masih terjadi tarik-menarik antara kesadaran nasionalitas dan kesadaran etnisitas yang sewaktu-waktu bisa berkembang dilematis menjadi kekurangpuasan, kurang informasi dan ego fanatisme budaya dan sejarah.



Karena itu, diperlukan penataan lewat pemahaman konsep sejarah lokal, sejarah nasional dan etnisitas. "Kita sadari lahirnya integrasi nasional dan nasionalisme di masa yang telah lewat diambil dari "nasion" suatu kolektivitas politik. Karena itu, tidak bisa disalahkan bahwa jiwa/roh nasionalisme di Indonesia mengandung gagasan mengembangkan rasa kebersamaan di antara kelompok masyarakat yang ada di Indonesia," ujarnya. Permasalahan selama ini adalah munculnya paradigma baru yang ditekankan pada nasionalisme kultural dan nasionalisme politik.



Menurutnya, keberadaan negara-bangsa tidak perlu dipermasalahkan sepanjang suku bangsa itu memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya budaya partikulir dari suku bangsa pendukungnya. Di pihak lain, pemerintah pusat (Jakarta) harus memperhatikan setiap suku bangsa -- bahwa mereka mempunyai hak, kewajiban dan andil yang sejajar; berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. "Tentu dalam slogan seperti itu tidak akan ada budaya yang cenderung diberi nilai rendah, tertutup," cetusnya. Karena, di Indonesia tidak ada budaya yang paling tinggi, paling beradab, apalagi yang betul-betul asli. Pengakuan sejarah memberi gambaran bahwa dari segi agama yang dianut -- semuanya datang dari luar. Demikian halnya penjajah di Indonesia tidak sedikit mempengaruhi dan memperkaya budaya bangsa Indonesia, termasuk di antaranya pembangunan dan globalisasi.



Untuk mempertahankan nilai-nilai, perlu dipahami karakter sosial bangsa yang didasari oleh keragaman etnik dan budaya dalam membangun kehidupan ber-Bhinneka Tunggal Ika dengan pedoman Pancasila dan UUD 45. Hal ini terbukti, dari peserta yang mengikuti lawatan sejarah terdiri dari berbagai etnik, agama, yang datang dari tiga propinsi. "Mereka setelah mengikuti lawatan sejarah tidak saja mampu menghafal dan memahami peristiwa sejarah dan etnik yang dikunjungi, akan tetapi lebih dipentingkan adalah mengutamakan proses pematangan pikiran dengan mencintai saudara-saudara setanah air dengan ajaran cinta kasih, perdamaian, persatuan dan kesatuan," papar Purna.



Itu artinya, simpul-simpul integrasi tetap dijalin dalam kerangka mengenali daerah masing-masing. Sebab, tidak berguna suku bangsa tanpa suku bangsa lain. Dan, setiap suku bangsa adalah simpul integrasi karena ia menjadi objek pengenalan yang memikat lewat berbagai macam nilai budaya yang berbeda namun menunjukkan sebuah kekayaan yang harus dihargai bersama. (rab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar